BUIH, OMBAK DAN SEPENGGAL TANYA
CERPEN FAKHRUNNAS MA JABBAR
Sejak kecil dulu, aku selalu terpaut
pada laut. Kampung kelahiranku di sebuah pulau kecil tak henti-hentinya
dikepung ombak Selat Melaka. Maung angin laut bagiku jadi mainan masa
kanak-kanak yang sulit kutimbun dengan kenangan-kenangan apa pun. Jangan-jangan
darah laut yang mengalir di pembuluh darahku itulah yang memancarkan watak
tegar sepanjang hidupku. Aku tak pernah merasa gamang kala dulu merantau jauh.
Terpisah dari ayah dan emak serta empat saudaraku yang lain. Lagi-lagi aku
hidup di sebuah pulau lain yang mengakrabkanku dengan buih dan ombak pula.
Jaraknya ratusan mil yang memerlukan waktu terbang beberapa jam. Kujalani semua
tapak-tapak kehidupan ini secara apa adanya. Padahal kutahu dari cerita lama,
amat jarang dara Melayu dibolehkan merantau jauh. Emak dulu selalu berpesan,
tak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang emak agar selalu bersama
anak-anaknya. Meski perut kebulur,
anak-anak harus berada di ketiak emak. Begitulah sayangnya emak pada kami
termasuk diriku. Tapi emak sudah tua lagi uzur pula dan tinggal terpisah jauh
dariku. Ayah yang sedari kecik memanjakanku
sudah belasan tahun meninggal dunia. Bang Rizami, suami yang amat kucintai dan
telah mewariskan Taufan, anak laki-laki yang kini berusia delapan tahun juga
telah mendahului kami sepuluh tahun silam.
Saat Bang Rizami pergi dengan
membawa sakit kanker hati dulu, aku benar-benar bagai buih yang ditepuk ombak
di tengah laut yang bergelora. Aku tak tahu hendak bergantung ke mana. Emak tak
mungkin lagi memikirkan diriku juga anak-anaknya yang lain karena ia sedang
berhadapan dengan kerentaan usianya. Sementara saudara-saudaraku sendiri,
mereka juga cukup terdengik dengan
persoalan hidup keluarga masing-masing. Apalagi aku sudah berazam sejak dulu tak
akan meminta tolong pada mereka. Aku sudah terbiasa tegak di kakiku sendiri
termasuk bertahun-tahun terakhir ini menghidupi Taufan yang amat kumanja. Petang
yang agak lindap kali
ini, kuhabiskan bersama Taufan di pantai yang tak berapa jauh dari rumah kami.
Ini selalu kulakukan apabila terkenang pada mendiang suamiku atau aku sedang
didera persoalan-persoalan yang berat. Taufan selalu memperhatikan gerak
bolamataku yang begitu tunak menatap
buih-buih yang terapung di tengah kepungan ombak. Kadangkala, buih-buih itu bak
menari-nari dalam tingkahan ombak yang tak berirama. Di lain waktu, buih-buih
itu berkecai-kecai hingga
tak mungkin dipertautkan lagi. Sering airmata ku beruntaian jatuh di pipi
hingga menitik di rambut Taufan yang belum banyak mengerti apa yang sedang
kualami.
Kalau ditanya hatiku yang terdalam,
sungguh aku berbahagia menikah dan hidup bersama Bang Rizami. Meski, perahu
yang kami dayung bersama tak serta-merta mudah kami arungkan. Sikap Bang Rizami
yang kadang selambe kadangkala
membuat hatiku agak surut juga. Lebih-lebih di masa lalu, keluarga suamiku itu
justru cenderung mencerca diriku hanya karena kekurang-setujuannya pada
pernikahan kami. Aku dikesankan bukanlah sebagai ibu rumah tangga yang baik
karena seringnya aku bepergian karena tugasku di sebuah maskapai penerbangan.
Namun, semua tuduhan miring itu, berhasil kutepis dengan bukti. Di sela-sela
waktu senggang tugasku, aku memasak buat bang Rizami dan Taufan. Mengurus
bunga-bunga di pekarangan atau menata ulang letak kursi dan perabotan lain di
ruang tamu. Sungguh, aku benar-benar dara Melayu yang faham betul bagaimana
memanjakan suami.Tapi, rasa gundah-gulanaku kali ini bukan lagi karena mengenang
Bang Rizami. Aku telah melepas kepergiannya dengan segala kesucian hati dan
kejernihan asa. Aku tak mungkin membohongi naluri keperempuananku. Sepuluh
tahun menyendiri bukan waktu sekejap. Aku merasa bagaikan sepotong pualam yang
tak boleh tergores sedikit pun agar selalu berharga di mata banyak orang.
Ihwal menghadapi hidup begini, aku
benar-benar sudah terbiasa dan siap menghadapi apa pun keadaannya. Lalu, bicara
ihwal jodoh, aku benar-benar menyerah. Sudah tak terhitung pula para lelaki
yang datang untuk merebut simpatiku. Aku menepis semua kehadiran mereka dengan
alasan bermacam-macam. Tentu saja alasan paling utama, belum ada yang mampu
menggantikan keberadaan Bang Rizami. Lebih dari itu, aku amat mempertimbangkan
Taufan. Jangan-jangan Taufan menolak kehadiran pengganti ayahnya.
Namun, bagi diriku sendiri, memang
tak mudah melabuhkan cinta pada siapa pun. Ibarat sebatang pohon,
ranting-ranting cinta dalam diriku telah meranggas. Meninggalkan sepai-sepai
dedaunan kering yang begitu rumit untuk kususun kembali. Bagiku, ini sebuah
pilihan yang harus kujelang sampai kapan pun.Seorang lelaki dari masa silamku
tiba-tiba datang. Lelaki biasa yang pada mulanya tak menyiratkan sesuatu yang
patut kuberi makna. Aku hanya ingat, diusia belia dulu di kampung halamanku,
Sam –begitu panggilan lelaki ini- pernah menaruh hati padaku. Ia berkirim surat
dan puisi sebagai pernyataan cinta pertamanya. Sungguh, aku telah begitu abai
padanya sehingga tak menyisakan sedikit pun kenangan yang patut kusimpan di
kelopak jiwaku. Saat menatap buih-buih di pantai ini bersama Taufan, aku
sungguh berada pada tempat berpijak yang sulit. Sam datang menyelam ke dalam
jiwaku yang kosong dengan segala sentuhan ketulusannya. Lelaki itu
tiba-tiba menyergam di
antara rerimbunan sapaan para lelaki lain yang tak kalah ramahnya. Pertemuan
kami dalam sebuah seminar setahun silam kembali bagaikan merekat helain
kenangan yang terkecai-kecai.
Andai saja aku tidak menghadiri seminar pariwisata itu tentu deraan derita yang
kugali sendiri tak sampai terjadi. Sam datang di tengah kerontangnya
perasaanku. Aku bagaikan setumpukan sarang yang bergelayutan di pohon tinggi
menunggu burung-burung yang lalu-lalang di langit biru untuk bersinggah barang
sekejap. Salah satu di antara burung itu tentu akan menghangatkan kembali liang
sarang di batinku yang dingin.
“Aku menjemput kembali sekerat cinta
yang hilang. Aku lama kehilangan kamu. Kini aku datang dengan segala
ketulusan..” itulah kata-kata Sam pertama kali ketika tahu diriku sudah sepuluh
tahun ini hidup sendiri bersama Taufan. “Ini tak masuk akal, Sam. Aku ini siapa
dan kamu itu siapa? Kamu tetap ayah dari anak-anakmu dan suami dari istri yang
mencintaimu.” Aku tetap mengelak dengan menenggelamkan rasa simpati atau apa
pun namanya.“Kita harus jadi orang asing di antara kita berdua,” lanjutku tetap
berkilah. Sampai perpisahaan kami setelah beberapa hari bertemu dalam seminar
itu, masih belum ada yang patut kucatat pada diri Sam. Tapi, curahan
perhatiannya sudah mulai kurasakan saat ia memaksakan diri untuk mengantarku
menemaniku ke mana-mana. Kami sempat berbincang soal keluarga masing-masing
sambil membuka kembali katup-katup kenangan yang telah terlalu lama
ditinggalkan.“Andaikan kita bertemu beberapa tahun saja setelah menamatkan
sekolah dulu, tentu ceritanya akan lain. Boleh jadi, kamulah yang menjadi
istriku,” tiba-tiba Sam mengalihkan cerita yang bagiku sangat tidak
mengenakkan. Sebab, bagiku, tiada guna mengungkit-ungkit masa silam atau
berandai-andai yang tak perlu. Sebab, nasi sudah menjadi bubur. Aku telah
mereguk kebahagiaan masa lalu bersama Bang Rizami. Dan Sam sendiri tentu telah
menjalani takdir bersama anak-anak dan istrinya. “Sudahlah, Sam. Tak elok ‘membangkit batang terendam.’
Bisa-bisa kita akan kecewa nanti…” ucapku menyentakkan perhatian Sam agar
mengalihkan pokok pembicaraan ke soal-soal yang tak punya risiko.
Penerbanganku yang memakan waktu dua
jam lebih meninggalkan Sam yang juga kembali ke kampung halamannya di tepi
Selat Melaka, cukup bagiku untuk melupakan Sam. Buat apa mengharapkan tanduk ke
kuda atau berharap sisik ke limbat. Meski kutahu dari cerita Sam bahwa dirinya
terbilang salah seorang pengusaha Melayu yang sukses. Konon kabarnya, ia punya
beberapa perusahaan kontraktor yang memungkinkan dirinya memiliki rumah berdelau dan istri yang
molek pula. Tapi, sikap tegarku seperti sepenggal puisi Sutardji Calzoum Bachri
: dengan seribu gunung hati tak
runtuh/ dengan seribu perawan hati tak jatuh…
Aku
tak mungkin melihat apa pun pada diri Sam karena memang tak ada gunanya.
Sejarah tak mungkin diungkai kembali dengan sekejap pandangan. Sehebat apa pun
ia, tak mungkin aku berharap sesuatu yang tak mungkin kuraih. Boleh jadi hanya bagaikan pungguk merindukan
rembulan. Aku tetap ingin menjaga sarang cinta meski sudah lama dingin karena
belum ada burung ksatria yang kuperbolehkan mengeraminya. Aku ingin tetap jadi
diriku. Ingin tetap tegak meski terasa lelah menusuk setiap sumsum jiwaku.
Taufan sering bertanya kenapa aku tidak mencari pengganti ayahnya sebagai
pendamping hidup.
Pertemananku
dengan Sam ternyata tak berakhir megitu mudah. Sam selalu menghubungiku sekadar
bercakap-cakap lepas. Menanyakan kabar Taufan atau ihwal pekerjaanku yang sudah
amat kubosani. Aku ingin berhenti bekerja tapi aku tak punya pilihan yang lebih
bermakna. Aku harus menghidupi Taufan dengan sebelah sayap yang sudah patah.
Taufan harus bertumbuh dan mereguk kebahagiaan anak-anak seusianya meski tanpa
ayah lagi.
Aku benar-benar tersedu sendirian di
kamar saat kurasakan benih cinta itu menjulurkan akar ke segenap jiwa-ragaku.
Entah kenapa, Sam tiba-tiba berhasil mencairkan kebekuan hatiku. Sam tiba-tiba
memberikan semangat hidup kembali di sepenggal sisa usiaku kini . Sam memberi
perhatian pada Taufan semampu ia lakukan. Aku jadi teringat puluhan tahun silam
saat menerima keteduhan cinta Bang Rizami. Aku tak percaya kalau aku masih bisa
mencintai seseorang sebagaimana dulunya kurasakan bersama Bang Rizami. Tapi,
cinta yang kudapatkan dari Sam tak lebih dari sebuah jerat yang mengangakan
banyak liang bahaya. Kenapa aku harus mencintai sesorang yang sudah punya
tambatan hati yang abadi? Hari-hari saat jalinan kasih yang kujalani bersama
Sam dari jarak yang begitu jauh, tiba-tiba menggelayutkan ribuan bunga di
antara benang-benang kasih kami. Di sisi lain,. aku selalu saja berusaha
menepis kehadiran Sam. Tapi, seketika tepisan itu kuperkuat, sebegitu cepat
bayangan Sam mencumbuiku. Sam pun merasakan hal yang sama seperti dalam
sepotong puisi yang ditulis seorang penyair Indonesia yang namanya tak begitu
kuingat lagi: semakin jauh
kutinggal georgia/ georgia terus menguntitku… Ingin sekali
aku melucuti bayangan Sam. Saat hal itu kulakukan, sebegitu kencangnya bayangan
Sam berlari memburuku…Sungguh, ya Allah, aku tak kuasa!
Aku benar-benar jadi buih yang
diayun ombak berulang-ulang di sebuah lautan tak bertepi. Di puncak-puncak buih
itu kutemukan Tufan dan Sam sendiri saling menari. Apa makna semua ini? Sepuluh
tahun lamanya aku bersendirian bersama Taufan, tak pernah cobaan yang begitu
deras menghadangku. Wajah Sam bagaikan menyelusup dalam putaran puting-beliung yang
memorak-porandakan keteguhan hatiku. Percintaan di usia yang tak muda lagi,
kujalani bersama Sam tanpa arah yang jelas. Kujalani hubungan ini apa adanya
sehingga aku tak mau memaksakan kehendak apapun pada Sam. Aku tak ingin ada
yang terluka dalam kebahagiaan setengah hati yang kini kureguk. Aku juga tak
pernah memberi harapan pada Taufan akan kehadiran Sam yang tak begitu pasti.
Hujan
deras yang turun semalaman di pemukimanku mengubah segalanya seketika. Pasang
naik air laut tiba-tiba menggenangi komplek perumahan yang kutinggali. Maung
garam dan lalu-lalang ikan yang berenang kesenangan menjadi permainan baru di
mataku. Memang, air laut itu sempat menggenangi lantai rumah kami hingga
sebetis. Terasa mengherankan bagi penghuni komplek ini, sebab banjir kecil
begini tak pernah terjadi sebelumnya. Kata tetanggaku, ini akibat ulah manusia
yang membuang sampah sesukanya. Hingga menyumbat parit di mana-mana. Tapi ada
pula yang bilang, ini memang akibat global
warming, eh, pemanasan global yang dimulai dari efek rumah kaca. Ampun,
aku tiba-tiba jadi ahli bercerita seolah fenomena lingkungan ketika pikiranku
sedang kalut tak
karuan.
Berhari-hari air di lantai rumah
kami tak kunjung surut. Setiap hari pula aku menyaksikan buih dan ombak kecil
datang dan pergi sesukanya. Selalu kutatap dalam-dalam gerak buih dan ombak
itu. Selalu saja kusaksikan diriku dan Taufan terapung-apung bersama buih-buih.
Berayun-ayun dihembus angin teduh yang menyeruak dari celah dedaunan di
pekarangan. Ketika buih-buih itu tiba-tiba terpecah, selalu saja menyisakan
sepenggal tanya yang tak kunjung terjawab.
Sam
tak kunjung menjawabnya!
Pekanbaru,
10.09.07
Catatan:
maung
= aroma
kebulur
= lapar
kecik
= kecil
lindap = teduh
terdengik = duduk terhenyak
berazam = bertekad
limbat = ikan lele
pungguk
= sejenis
burung
tunak = konsisten
berkecai-kecai = bercerai-berai,
berkeping-keping
selambe = tak pedulian
menyergam = muncul menyeruak
berdelau = berkilau, bercahaya
puting-beliung
= angin
topan yang menggulung
kalut
= panik
UNSUR
INTRINSIK
1.
TEMA : Percintaan
2.
TOKOH: Aku
Ayahku
Emakku
4 Saudaraku
Taufan
Bang Rizami
Keluarga Suamiku
Sam
3.
PENOKOHAN:
Aku: Sabar,Tegar,dan Baik.
Ayahku: Baik.
Emakku: Baik.
4 Saudaraku: Baik.
Taufan: Perhatian, Perduli.
Bang Rizami: Selambe / tak perduli .
Keluarga Suamiku: Tidak Menghargai.
Sam: Suka mengunggkit masa lalu,Suka
mengganggu.
5.
ALUR: Maju
6.
LATAR
TEMPAT: Laut, Pulau, Pantai, Tepi Selat Melaka,Rumah, Ruang Tamu dan Pekarangan Bunga.
WAKTU : Dahulu kala, Beberapa
Jam,Delapan Tahun Silam, Sepuluh Tahun, Belasan Tahun, Dua Jam dan Petang.
SUASANA: Sedih, Tegang, Bigung, dan Sepi.
7.
AMANAT: Jangan suka mengganggu kehidupan
orang lain.
Hargailah orang yang menyayangi
kita,jangan mengabaikannya.
8.GAYA
BAHASA: Terdapat beberpa majas seperti:
·
Majas Metafora
·
Majas personifikasi
·
Majas perumpamaan atau asosiatif
·
Majas alegori
p hari pulang malam.
b) Bagus sekali tulisanmu sampai tidak dapat dibaca.
Contoh
b) Bagus sekali tulisanmu sampai tidak dapat dibaca.
Contoh
Majas yang terkandung:
1. Sering airmata ku
beruntaian jatuh di pipi hingga menitik di rambut . Majas metafora
2. kadangkala membuat hatiku
agak surut juga. Majas asosiasi atau
perumpamanan
3. Jangan-jangan darah laut
yang mengalir di pembuluh darahku itulah yang memancarkan watak tegar sepanjang
huidupku.Majas perumpamaan
4. aku benar-benar bagai buih
yang ditepuk ombak di tengah laut yang bergelora. Majas perumpamaan
5. Kadangkala, buih-buih bak
menari-nari dalam tingkahan ombak yang tak berirama. Majas personifikasi
6. Ibarat sebatang pohon,
ranting-ranting cinta dalam diriku telah meranggas.majas perumpamaan
7. Sam datang menyelam ke
dalam jiwaku yang kosong dengan segala sentuhan ketulusannya. Majas personifikasi
8. Sam dari jarak yang begitu
jauh, tiba-tiba menggelayutkan ribuan bunga di antara benang-benang kasih.Majas hiperbola
9. dengan
seribu gunung hati tak runtuh Majas hiperbola
10. Aku tetap ingin menjaga
sarang cinta meski sudah lama dingin karena belum ada burung ksatria yang
kuperbolehkan mengeraminya.Majas alegori
UNSUR-UNSUR
EKSTRINSIK
1
Nilai yang terkandung pada cerpen
Interaksi atau komunikasi harus bisa dilakukan dengan baik agar tidak ada kesalah pahaman, contohnya dalam cerpen yaitu:
Aku
dikesankan bukanlah sebagai ibu rumah tangga yang baik karena seringnya aku
bepergian karena tugasku di sebuah maskapai penerbangan.
v Nilai agama
·
Aku telah melepas kepergiannya dengan segala
kesucian hati dan kejernihan asa. Aku tak mungkin membohongi naluri
keperempuananku.
·
Apalagi aku sudah berazam sejak dulu tak
akan meminta tolong pada mereka.
·
Saat
hal itu kulakukan, sebegitu kencangnya bayangan Sam berlari memburuku…Sungguh,
ya Allah, aku tak kuasa!
·
Padahal kutahu dari cerita lama, amat jarang
dara Melayu dibolehkan merantau jauh. Emak dulu selalu berpesan, tak ada yang
lebih membahagiakan bagi seorang emak agar selalu bersama anak-anaknya. Meski
perut kebulur, anak-anak
harus berada di ketiak emak. Begitulah sayangnya emak pada kami termasuk
diriku. Tapi emak sudah tua lagi uzur pula dan tinggal terpisah jauh dariku.
·
Bersikap
sopan sudah menjadi salah satu norma yang berlaku di lingkungan yang
diceritakan pada cerpen. Salah satu contohnya yaitu berkata dengan lemah lembut
dan selalu tersenyum.
Sesuai dengan cerpen yang ditulis pengarang, kemungkinan
keadaan lingkungan dari pengarang yaitu kehidupan yang religius, penuh norma
dan sopan santun, serta suasana disekitarnya yang sangat indah
namun masih banyak kesedihan dalam kehidupannya.
Identitas pengarang
Identitas pengarang
Fakhrunnas MA Jabbar, lahir di
Airtiris, Riau-Indonesia, 18 Januari 1959.
Mulai menulis sejak di bangku SMP di Bengkalis. Menamatkan Fakultas Perikanan
Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Riau (UNRI) Pekanbaru. Semasa
kuliah pernah menjadi Mahasiswa Teladan Tingkat Nasional utusan UNRI (1984).
Menjadi dosen di Universitas Islam Riau sejak 1986. Berkhidmat dalam dunia
jurnalistik sejak tahun 1979-1999. Komite Sastra Dewan Kesenian Riau (1994-96),
Sekretaris Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI- 1983-95), Sekretaris Lembaga Seni
Budaya Pemuda KNPI Riau (1981-85), Sekretaris Komite Program Yayasan Puisi
Nusantara (1980-84). Sejumlah buku telah diterbitkan antara lain, Di Bawah
Matahari (1981) dan Matahari Malam, Matahari Siang (1982) keduanya
bersama penyair Husnu Abadi , Meditasi Sepasang Pipa (1987)bersama
penyair Wahyu Prasetya, Buya Zaini Kuni : Sebutir Mutiara di Lubuk Bendahara
(1993) –biografi, H. Soeman Hs: Bukan Pencuri Anak Perawan (1998)
–autobiografi- dan terpilih sebagai Buku Terbaik Anugerah Sagang tahun 1999 Menulis dan mempublikasikan
tulisannya berupa puisi, cerpen, esai dan artikel di hampir 100 media yang
terbit di Indonesia sejak 1975- sekarang. Telah menulis dan menerbitkan buku
yakni 5 kumpulan puisi (antara lain Airmata Barzanji, 2005 danTanah
Airku Melayu, 2007), 3 kumpulan cerpen (Jazirah Layeela, 2004, Sebatang
Ceri di Serambi, 2006 danOngkak, 2010), 2 biografi (Zaini Kunin,
Sebutir Mutiara dari Lubuk Bendahara, 1993 dan Soeman Hs, Bukan
Pencuri Anak Perawan, 1998) serta 5 buku cerita anak.
Buku cerpen Sebatang Ceri di
Serambi meraih Buku Pilihan Anugerah Sagang, 2007 sekaligus menjadi
nominator Khatulistiwa Literary Award tahun yang sama.
Puisinya terhimpun di dalam Antologi De Poetica(antologi puisi
Indonesia-Malaysia-Portugis) dan cerpennya Rumah Besar Tanpa Jendela terhimpun
dalam buku Horison Sastra Indonesia- Buku Cerpen dan diangkat
menjadi film TV (La Tivi 2003). Cerpennya Sebatang Ceri di Serambi
diterjemahkan ke bahasa Prancis (Un cerisier devant une veranda) dimuat
di majalah Le Banian (2013)
dan Oktober 2014 diundang memberi makalah dan baca puisi di Paris.
Tahun 2008 terpilih sebagai Budayawan/ Seniman Pilihan Anugerah Sagang dan
tahun yang sama dianugerahi Seniman Pemangku Negeri (SPN) oleh Dewan Kesenian
Riau.
Sering mengikuti kegiatan sastra dan
budaya sebagai pemakalah dan baca puisi di Indonesia dan luar negeri di
antaranya 99’Cultural Exchange Programme– Unesco di Seoul dan Kyong
Ju (Korsel), PPN IV Brunei Darussalam, PSN XVI Singapura, Baca Puisi Dunia
Numera 2014 dan sebagainya. Bulan Oktber 2014, dia tampil sebagai pemakalah dan
baca puisi pada acara 6th Meeting of Indonesia Literary di
Paris ditaja oleh Ascosiation Franco-Indonesien (AFI). Tahun
2015 ini diundang lagi ke Paris menjadi pensyarah selama sepekan dan baca puisi
di Institut Nasional Bahasa dan Kebudayaan Timur (Inalco), Prancis di kota
Paris.
Berkhidmat sebagai dosen Universiti Islam Riau sejak dan dunia
kewartawan (30 tahun lebih) serta dunia public relations (15
tahun). Tinggal di Pekanbaru.
FB: Fakhrunnas
MA Jabbar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar