Rabu, 18 Mei 2016

Analisis Cerpen Chiensien Melfrida S 140388201030



BUIH, OMBAK DAN SEPENGGAL TANYA
CERPEN FAKHRUNNAS MA JABBAR


            Sejak kecil dulu, aku selalu terpaut pada laut. Kampung kelahiranku di sebuah pulau kecil tak henti-hentinya dikepung ombak Selat Melaka. Maung angin laut bagiku jadi mainan masa kanak-kanak yang sulit kutimbun dengan kenangan-kenangan apa pun. Jangan-jangan darah laut yang mengalir di pembuluh darahku itulah yang memancarkan watak tegar sepanjang hidupku. Aku tak pernah merasa gamang kala dulu merantau jauh. Terpisah dari ayah dan emak serta empat saudaraku yang lain. Lagi-lagi aku hidup di sebuah pulau lain yang mengakrabkanku dengan buih dan ombak pula. Jaraknya ratusan mil yang memerlukan waktu terbang beberapa jam. Kujalani semua tapak-tapak kehidupan ini secara apa adanya. Padahal kutahu dari cerita lama, amat jarang dara Melayu dibolehkan merantau jauh. Emak dulu selalu berpesan, tak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang emak agar selalu bersama anak-anaknya. Meski perut kebulur, anak-anak harus berada di ketiak emak. Begitulah sayangnya emak pada kami termasuk diriku. Tapi emak sudah tua lagi uzur pula dan tinggal terpisah jauh dariku. Ayah yang sedari kecik memanjakanku sudah belasan tahun meninggal dunia. Bang Rizami, suami yang amat kucintai dan telah mewariskan Taufan, anak laki-laki yang kini berusia delapan tahun juga telah mendahului kami sepuluh tahun silam.
            Saat Bang Rizami pergi dengan membawa sakit kanker hati dulu, aku benar-benar bagai buih yang ditepuk ombak di tengah laut yang bergelora. Aku tak tahu hendak bergantung ke mana. Emak tak mungkin lagi memikirkan diriku juga anak-anaknya yang lain karena ia sedang berhadapan dengan kerentaan usianya. Sementara saudara-saudaraku sendiri, mereka juga cukup terdengik dengan persoalan hidup keluarga masing-masing. Apalagi aku sudah berazam sejak dulu tak akan meminta tolong pada mereka. Aku sudah terbiasa tegak di kakiku sendiri termasuk bertahun-tahun terakhir ini menghidupi Taufan yang amat kumanja. Petang yang agak lindap kali ini, kuhabiskan bersama Taufan di pantai yang tak berapa jauh dari rumah kami. Ini selalu kulakukan apabila terkenang pada mendiang suamiku atau aku sedang didera persoalan-persoalan yang berat. Taufan selalu memperhatikan gerak bolamataku yang begitu tunak menatap buih-buih yang terapung di tengah kepungan ombak. Kadangkala, buih-buih itu bak menari-nari dalam tingkahan ombak yang tak berirama. Di lain waktu, buih-buih itu berkecai-kecai hingga tak mungkin dipertautkan lagi. Sering airmata ku beruntaian jatuh di pipi hingga menitik di rambut Taufan yang belum banyak mengerti apa yang sedang kualami.
            Kalau ditanya hatiku yang terdalam, sungguh aku berbahagia menikah dan hidup bersama Bang Rizami. Meski, perahu yang kami dayung bersama tak serta-merta mudah kami arungkan. Sikap Bang Rizami yang kadang selambe kadangkala membuat hatiku agak surut juga. Lebih-lebih di masa lalu, keluarga suamiku itu justru cenderung mencerca diriku hanya karena kekurang-setujuannya pada pernikahan kami. Aku dikesankan bukanlah sebagai ibu rumah tangga yang baik karena seringnya aku bepergian karena tugasku di sebuah maskapai penerbangan. Namun, semua tuduhan miring itu, berhasil kutepis dengan bukti. Di sela-sela waktu senggang tugasku, aku memasak buat bang Rizami dan Taufan. Mengurus bunga-bunga di pekarangan atau menata ulang letak kursi dan perabotan lain di ruang tamu. Sungguh, aku benar-benar dara Melayu yang faham betul bagaimana memanjakan suami.Tapi, rasa gundah-gulanaku kali ini bukan lagi karena mengenang Bang Rizami. Aku telah melepas kepergiannya dengan segala kesucian hati dan kejernihan asa. Aku tak mungkin membohongi naluri keperempuananku. Sepuluh tahun menyendiri bukan waktu sekejap. Aku merasa bagaikan sepotong pualam yang tak boleh tergores sedikit pun agar selalu berharga di mata banyak orang.
            Ihwal menghadapi hidup begini, aku benar-benar sudah terbiasa dan siap menghadapi apa pun keadaannya. Lalu, bicara ihwal jodoh, aku benar-benar menyerah. Sudah tak terhitung pula para lelaki yang datang untuk merebut simpatiku. Aku menepis semua kehadiran mereka dengan alasan bermacam-macam. Tentu saja alasan paling utama, belum ada yang mampu menggantikan keberadaan Bang Rizami. Lebih dari itu, aku amat mempertimbangkan Taufan. Jangan-jangan Taufan menolak kehadiran pengganti ayahnya.
            Namun, bagi diriku sendiri, memang tak mudah melabuhkan cinta pada siapa pun. Ibarat sebatang pohon, ranting-ranting cinta dalam diriku telah meranggas. Meninggalkan sepai-sepai dedaunan kering yang begitu rumit untuk kususun kembali. Bagiku, ini sebuah pilihan yang harus kujelang sampai kapan pun.Seorang lelaki dari masa silamku tiba-tiba datang. Lelaki biasa yang pada mulanya tak menyiratkan sesuatu yang patut kuberi makna. Aku hanya ingat, diusia belia dulu di kampung halamanku, Sam –begitu panggilan lelaki ini- pernah menaruh hati padaku. Ia berkirim surat dan puisi sebagai pernyataan cinta pertamanya. Sungguh, aku telah begitu abai padanya sehingga tak menyisakan sedikit pun kenangan yang patut kusimpan di kelopak jiwaku. Saat menatap buih-buih di pantai ini bersama Taufan, aku sungguh berada pada tempat berpijak yang sulit. Sam datang menyelam ke dalam jiwaku yang kosong dengan segala sentuhan ketulusannya. Lelaki itu tiba-tiba menyergam di antara rerimbunan sapaan para lelaki lain yang tak kalah ramahnya. Pertemuan kami dalam sebuah seminar setahun silam kembali bagaikan merekat helain kenangan yang terkecai-kecai. Andai saja aku tidak menghadiri seminar pariwisata itu tentu deraan derita yang kugali sendiri tak sampai terjadi. Sam datang di tengah kerontangnya perasaanku. Aku bagaikan setumpukan sarang yang bergelayutan di pohon tinggi menunggu burung-burung yang lalu-lalang di langit biru untuk bersinggah barang sekejap. Salah satu di antara burung itu tentu akan menghangatkan kembali liang sarang di batinku yang dingin.
            “Aku menjemput kembali sekerat cinta yang hilang. Aku lama kehilangan kamu. Kini aku datang dengan segala ketulusan..” itulah kata-kata Sam pertama kali ketika tahu diriku sudah sepuluh tahun ini hidup sendiri bersama Taufan. “Ini tak masuk akal, Sam. Aku ini siapa dan kamu itu siapa? Kamu tetap ayah dari anak-anakmu dan suami dari istri yang mencintaimu.” Aku tetap mengelak dengan menenggelamkan rasa simpati atau apa pun namanya.“Kita harus jadi orang asing di antara kita berdua,” lanjutku tetap berkilah. Sampai perpisahaan kami setelah beberapa hari bertemu dalam seminar itu, masih belum ada yang patut kucatat pada diri Sam. Tapi, curahan perhatiannya sudah mulai kurasakan saat ia memaksakan diri untuk mengantarku menemaniku ke mana-mana. Kami sempat berbincang soal keluarga masing-masing sambil membuka kembali katup-katup kenangan yang telah terlalu lama ditinggalkan.“Andaikan kita bertemu beberapa tahun saja setelah menamatkan sekolah dulu, tentu ceritanya akan lain. Boleh jadi, kamulah yang menjadi istriku,” tiba-tiba Sam mengalihkan cerita yang bagiku sangat tidak mengenakkan. Sebab, bagiku, tiada guna mengungkit-ungkit masa silam atau berandai-andai yang tak perlu. Sebab, nasi sudah menjadi bubur. Aku telah mereguk kebahagiaan masa lalu bersama Bang Rizami. Dan Sam sendiri tentu telah menjalani takdir bersama anak-anak dan istrinya. “Sudahlah, Sam. Tak elok ‘membangkit batang terendam.’ Bisa-bisa kita akan kecewa nanti…” ucapku menyentakkan perhatian Sam agar mengalihkan pokok pembicaraan ke soal-soal yang tak punya risiko.
            Penerbanganku yang memakan waktu dua jam lebih meninggalkan Sam yang juga kembali ke kampung halamannya di tepi Selat Melaka, cukup bagiku untuk melupakan Sam. Buat apa mengharapkan tanduk ke kuda atau berharap sisik ke limbat. Meski kutahu dari cerita Sam bahwa dirinya terbilang salah seorang pengusaha Melayu yang sukses. Konon kabarnya, ia punya beberapa perusahaan kontraktor yang memungkinkan dirinya memiliki rumah berdelau dan istri yang molek pula. Tapi, sikap tegarku seperti sepenggal puisi Sutardji Calzoum Bachri : dengan seribu gunung hati tak runtuh/ dengan seribu perawan hati tak jatuh…
Aku tak mungkin melihat apa pun pada diri Sam karena memang tak ada gunanya. Sejarah tak mungkin diungkai kembali dengan sekejap pandangan. Sehebat apa pun ia, tak mungkin aku berharap sesuatu yang tak mungkin kuraih. Boleh jadi hanya bagaikan pungguk merindukan rembulan. Aku tetap ingin menjaga sarang cinta meski sudah lama dingin karena belum ada burung ksatria yang kuperbolehkan mengeraminya. Aku ingin tetap jadi diriku. Ingin tetap tegak meski terasa lelah menusuk setiap sumsum jiwaku. Taufan sering bertanya kenapa aku tidak mencari pengganti ayahnya sebagai pendamping hidup.
Pertemananku dengan Sam ternyata tak berakhir megitu mudah. Sam selalu menghubungiku sekadar bercakap-cakap lepas. Menanyakan kabar Taufan atau ihwal pekerjaanku yang sudah amat kubosani. Aku ingin berhenti bekerja tapi aku tak punya pilihan yang lebih bermakna. Aku harus menghidupi Taufan dengan sebelah sayap yang sudah patah. Taufan harus bertumbuh dan mereguk kebahagiaan anak-anak seusianya meski tanpa ayah lagi.
            Aku benar-benar tersedu sendirian di kamar saat kurasakan benih cinta itu menjulurkan akar ke segenap jiwa-ragaku. Entah kenapa, Sam tiba-tiba berhasil mencairkan kebekuan hatiku. Sam tiba-tiba memberikan semangat hidup kembali di sepenggal sisa usiaku kini . Sam memberi perhatian pada Taufan semampu ia lakukan. Aku jadi teringat puluhan tahun silam saat menerima keteduhan cinta Bang Rizami. Aku tak percaya kalau aku masih bisa mencintai seseorang sebagaimana dulunya kurasakan bersama Bang Rizami. Tapi, cinta yang kudapatkan dari Sam tak lebih dari sebuah jerat yang mengangakan banyak liang bahaya. Kenapa aku harus mencintai sesorang yang sudah punya tambatan hati yang abadi? Hari-hari saat jalinan kasih yang kujalani bersama Sam dari jarak yang begitu jauh, tiba-tiba menggelayutkan ribuan bunga di antara benang-benang kasih kami. Di sisi lain,. aku selalu saja berusaha menepis kehadiran Sam. Tapi, seketika tepisan itu kuperkuat, sebegitu cepat bayangan Sam mencumbuiku. Sam pun merasakan hal yang sama seperti dalam sepotong puisi yang ditulis seorang penyair Indonesia yang namanya tak begitu kuingat lagi: semakin jauh kutinggal georgia/ georgia terus menguntitku Ingin sekali aku melucuti bayangan Sam. Saat hal itu kulakukan, sebegitu kencangnya bayangan Sam berlari memburuku…Sungguh, ya Allah, aku tak kuasa!
            Aku benar-benar jadi buih yang diayun ombak berulang-ulang di sebuah lautan tak bertepi. Di puncak-puncak buih itu kutemukan Tufan dan Sam sendiri saling menari. Apa makna semua ini? Sepuluh tahun lamanya aku bersendirian bersama Taufan, tak pernah cobaan yang begitu deras menghadangku. Wajah Sam bagaikan menyelusup dalam putaran puting-beliung yang memorak-porandakan keteguhan hatiku. Percintaan di usia yang tak muda lagi, kujalani bersama Sam tanpa arah yang jelas. Kujalani hubungan ini apa adanya sehingga aku tak mau memaksakan kehendak apapun pada Sam. Aku tak ingin ada yang terluka dalam kebahagiaan setengah hati yang kini kureguk. Aku juga tak pernah memberi harapan pada Taufan akan kehadiran Sam yang tak begitu pasti.
Hujan deras yang turun semalaman di pemukimanku mengubah segalanya seketika. Pasang naik air laut tiba-tiba menggenangi komplek perumahan yang kutinggali. Maung garam dan lalu-lalang ikan yang berenang kesenangan menjadi permainan baru di mataku. Memang, air laut itu sempat menggenangi lantai rumah kami hingga sebetis. Terasa mengherankan bagi penghuni komplek ini, sebab banjir kecil begini tak pernah terjadi sebelumnya. Kata tetanggaku, ini akibat ulah manusia yang membuang sampah sesukanya. Hingga menyumbat parit di mana-mana. Tapi ada pula yang bilang, ini memang akibat global warming, eh, pemanasan global yang dimulai dari efek rumah kaca. Ampun, aku tiba-tiba jadi ahli bercerita seolah fenomena lingkungan ketika pikiranku sedang kalut tak karuan.


            Berhari-hari air di lantai rumah kami tak kunjung surut. Setiap hari pula aku menyaksikan buih dan ombak kecil datang dan pergi sesukanya. Selalu kutatap dalam-dalam gerak buih dan ombak itu. Selalu saja kusaksikan diriku dan Taufan terapung-apung bersama buih-buih. Berayun-ayun dihembus angin teduh yang menyeruak dari celah dedaunan di pekarangan. Ketika buih-buih itu tiba-tiba terpecah, selalu saja menyisakan sepenggal tanya yang tak kunjung terjawab.
Sam tak kunjung menjawabnya!
Pekanbaru, 10.09.07

Catatan:
maung = aroma
kebulur = lapar
kecik = kecil
lindap = teduh
terdengik = duduk terhenyak
berazam = bertekad
limbat = ikan lele
pungguk = sejenis burung
tunak = konsisten
berkecai-kecai = bercerai-berai, berkeping-keping
selambe = tak pedulian
menyergam = muncul menyeruak
berdelau = berkilau, bercahaya
puting-beliung = angin topan yang menggulung
kalut = panik



UNSUR INTRINSIK


   1.      TEMA : Percintaan

  2.      TOKOH: Aku
               
                Ayahku

                Emakku

                4 Saudaraku

                Taufan        
           
                Bang Rizami

                Keluarga Suamiku

                Sam


  3.      PENOKOHAN:
             Aku: Sabar,Tegar,dan Baik.

              Ayahku: Baik.

               Emakku: Baik.

               4 Saudaraku: Baik.

               Taufan: Perhatian, Perduli. 

               Bang Rizami: Selambe / tak perduli .

               Keluarga Suamiku: Tidak Menghargai.
             
               Sam: Suka mengunggkit masa lalu,Suka mengganggu.



. SUDUT PANDANG: Orang pertama (sebagai pegarang menggunakan tokoh Aku)


  5.      ALUR: Maju


  6.      LATAR  TEMPAT: Laut, Pulau, Pantai, Tepi Selat Melaka,Rumah, Ruang Tamu dan                                         Pekarangan Bunga.

              WAKTU  : Dahulu kala, Beberapa Jam,Delapan Tahun Silam, Sepuluh Tahun,                                      Belasan Tahun, Dua Jam dan Petang.

              SUASANA: Sedih, Tegang, Bigung, dan Sepi.



  7.      AMANAT: Jangan suka mengganggu kehidupan orang lain.
                    Hargailah orang yang menyayangi kita,jangan mengabaikannya.


  8.GAYA BAHASA: Terdapat beberpa majas seperti:
·         Majas Metafora
·         Majas personifikasi
·         Majas perumpamaan atau asosiatif
·         Majas alegori


p hari pulang malam.
b) Bagus sekali tulisanmu sampai tidak dapat dibaca.


Contoh
Majas yang terkandung:

1.      Sering airmata ku beruntaian jatuh di pipi hingga menitik di rambut . Majas metafora
2.      kadangkala membuat hatiku agak surut juga. Majas asosiasi atau perumpamanan
3.      Jangan-jangan darah laut yang mengalir di pembuluh darahku itulah yang memancarkan watak tegar sepanjang huidupku.Majas perumpamaan
4.      aku benar-benar bagai buih yang ditepuk ombak di tengah laut yang bergelora. Majas perumpamaan
5.      Kadangkala, buih-buih bak menari-nari dalam tingkahan ombak yang tak berirama. Majas personifikasi
6.      Ibarat sebatang pohon, ranting-ranting cinta dalam diriku telah meranggas.majas perumpamaan
7.      Sam datang menyelam ke dalam jiwaku yang kosong dengan segala sentuhan ketulusannya. Majas personifikasi
8.      Sam dari jarak yang begitu jauh, tiba-tiba menggelayutkan ribuan bunga di antara benang-benang kasih.Majas hiperbola
9.      dengan seribu gunung hati tak runtuh Majas hiperbola
10.  Aku tetap ingin menjaga sarang cinta meski sudah lama dingin karena belum ada burung ksatria yang kuperbolehkan mengeraminya.Majas alegori



UNSUR-UNSUR EKSTRINSIK

1             Nilai yang terkandung pada cerpen

 Nilai sosial
       Interaksi atau komunikasi harus bisa dilakukan dengan baik agar tidak ada kesalah pahaman, contohnya dalam cerpen yaitu:
Aku dikesankan bukanlah sebagai ibu rumah tangga yang baik karena seringnya aku bepergian karena tugasku di sebuah maskapai penerbangan.

v  Nilai agama
·         Aku telah melepas kepergiannya dengan segala kesucian hati dan kejernihan asa. Aku tak mungkin membohongi naluri keperempuananku.
·         Apalagi aku sudah berazam sejak dulu tak akan meminta tolong pada mereka.
·         Saat hal itu kulakukan, sebegitu kencangnya bayangan Sam berlari memburuku…Sungguh, ya Allah, aku tak kuasa!


Nilai budaya
·         Padahal kutahu dari cerita lama, amat jarang dara Melayu dibolehkan merantau jauh. Emak dulu selalu berpesan, tak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang emak agar selalu bersama anak-anaknya. Meski perut kebulur, anak-anak harus berada di ketiak emak. Begitulah sayangnya emak pada kami termasuk diriku. Tapi emak sudah tua lagi uzur pula dan tinggal terpisah jauh dariku.

 Nilai moral
·         Bersikap sopan sudah menjadi salah satu norma yang berlaku di lingkungan yang diceritakan pada cerpen. Salah satu contohnya yaitu berkata dengan lemah lembut dan selalu tersenyum.


   Lingkungan pengarang
Sesuai dengan cerpen yang ditulis pengarang, kemungkinan keadaan lingkungan dari pengarang yaitu kehidupan yang religius, penuh norma dan sopan santun, serta suasana disekitarnya yang sangat  indah  namun masih banyak kesedihan dalam kehidupannya. 


 Identitas pengarang
           
            Fakhrunnas MA Jabbar, lahir di Airtiris, Riau-Indonesia, 18 Januari 1959. Mulai menulis sejak di bangku SMP di Bengkalis. Menamatkan Fakultas Perikanan Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Riau (UNRI) Pekanbaru. Semasa kuliah pernah menjadi Mahasiswa Teladan Tingkat Nasional utusan UNRI (1984). Menjadi dosen di Universitas Islam Riau sejak 1986. Berkhidmat dalam dunia jurnalistik sejak tahun 1979-1999. Komite Sastra Dewan Kesenian Riau (1994-96), Sekretaris Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI- 1983-95), Sekretaris Lembaga Seni Budaya Pemuda KNPI Riau (1981-85), Sekretaris Komite Program Yayasan Puisi Nusantara (1980-84). Sejumlah buku telah diterbitkan antara lain, Di Bawah Matahari (1981) dan Matahari Malam, Matahari Siang (1982) keduanya bersama penyair Husnu Abadi , Meditasi Sepasang Pipa (1987)bersama penyair Wahyu Prasetya, Buya Zaini Kuni : Sebutir Mutiara di Lubuk Bendahara (1993) –biografi,  H. Soeman Hs: Bukan Pencuri Anak Perawan (1998) –autobiografi- dan terpilih sebagai Buku Terbaik Anugerah Sagang tahun 1999  Menulis dan mempublikasikan tulisannya berupa puisi, cerpen, esai dan artikel di hampir 100 media yang terbit di Indonesia sejak 1975- sekarang. Telah menulis dan menerbitkan buku yakni 5 kumpulan puisi (antara lain Airmata Barzanji, 2005 danTanah Airku Melayu, 2007), 3 kumpulan cerpen (Jazirah Layeela, 2004, Sebatang Ceri di Serambi, 2006 danOngkak, 2010), 2 biografi (Zaini Kunin, Sebutir Mutiara dari Lubuk Bendahara, 1993 dan Soeman Hs, Bukan Pencuri Anak Perawan, 1998) serta 5 buku cerita anak.
            Buku cerpen Sebatang Ceri di Serambi meraih Buku Pilihan Anugerah Sagang, 2007 sekaligus menjadi nominator Khatulistiwa Literary Award tahun yang sama. Puisinya terhimpun di dalam Antologi De Poetica(antologi puisi Indonesia-Malaysia-Portugis) dan cerpennya Rumah Besar Tanpa Jendela terhimpun dalam buku Horison Sastra Indonesia- Buku Cerpen dan diangkat menjadi film TV (La Tivi 2003). Cerpennya Sebatang Ceri di Serambi diterjemahkan ke bahasa Prancis (Un cerisier devant une veranda) dimuat di majalah Le Banian (2013) dan Oktober 2014 diundang memberi makalah dan baca puisi di Paris.   Tahun 2008 terpilih sebagai Budayawan/ Seniman Pilihan Anugerah Sagang dan tahun yang sama dianugerahi Seniman Pemangku Negeri (SPN) oleh Dewan Kesenian Riau.
            Sering mengikuti kegiatan sastra dan budaya sebagai pemakalah dan baca puisi di Indonesia dan luar negeri di antaranya 99’Cultural Exchange Programme– Unesco di Seoul dan Kyong Ju (Korsel), PPN IV Brunei Darussalam, PSN XVI Singapura, Baca Puisi Dunia Numera 2014 dan sebagainya. Bulan Oktber 2014, dia tampil sebagai pemakalah dan baca puisi pada acara 6th Meeting of Indonesia Literary di Paris ditaja oleh Ascosiation Franco-Indonesien (AFI). Tahun 2015 ini diundang lagi ke Paris menjadi pensyarah selama sepekan dan baca puisi di Institut Nasional Bahasa dan Kebudayaan Timur (Inalco), Prancis di kota Paris.
            Berkhidmat sebagai dosen  Universiti Islam Riau sejak dan dunia kewartawan (30 tahun lebih) serta dunia public relations (15 tahun). Tinggal di Pekanbaru.


FB: Fakhrunnas MA Jabbar.








 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar